Pajak dan Wanita: Mengapa Literasi Pajak Itu Penting Bagi Wanita Berstatus Menikah?

By Johan MP 24 Nov 2025, 12:25:01 WIB Opini
Pajak dan Wanita: Mengapa Literasi Pajak Itu Penting Bagi Wanita Berstatus Menikah?

Keterangan Gambar : Foto: Ilustrasi


MEGAPOLITANPOS.COM, JAKARTA-Perempuan kini menyumbang hampir setengah dari tenaga professional di DKI Jakarta. Tapi, di tengah meningkatnya peran ekonomi mereka, muncul pertanyaan penting: sudahkah perempuan memahami peran dan haknya dalam sistem perpajakan?

Ketika mendengar kata “Pajak”, sebagian orang mungkin langsung teringat pada formulir, angka, dan hitung-hitungan yg rumit. Padahal, pajak bukan sekedar urusan administrasi atau hitungan di atas kertas melainkan wujud kontribusi nyata setiap warga negara terhadap pembangunan bangsa termasuk kaum perempuan.

Baca Lainnya :

Sekarang ini, semakin banyak perempuan Indonesia yang bekerja, membuka usaha, dan memiliki penghasilan sendiri. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2024, persentase perempuan yang bekerja sebagai tenaga profesional di DKI Jakarta mencapai 48,04%. Angka tersebut menunjukkan bahwa banyak perempuan aktif berkontribusi dalam berbagai bidang pekerjaan profesional, baik di sektor pemerintah maupun swasta. Meski begitu, tingkat partisipasi ini tidak diiringi dengan pemahaman yang memadai tentang pajak.

Banyak perempuan, terutama yang sudah menikah, masih belum tahu bagaimana status perkawinan mereka memengaruhi kewajiban dalam membayar pajak.

Mengapa Status Perkawinan Bisa mempengaruhi Pajak?

Banyak orang yang tidak mengetahui bahwa status perkawinan dapat memengaruhi cara seseorang dikenai pajak. Dalam sistem perpajakan Indonesia, perempuan yang sudah menikah memiliki status sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Wanita Kawin (WP OP Wanita Kawin).

Status ini menentukan bagaimana penghasilan istri dilaporkan serta cara menjalankan kewajiban pajaknya. Secara umum, ada tiga pilihan status pajak yang bisa dipilih oleh perempuan yang sudah menikah:

-Kepala Keluarga (KK), penghasilan istri dianggap menjadi satu dengan suami dan pajaknya dilaporkan secara gabungan.

-Pisah Harta (PH), suami dan istri memiliki NPWP masing-masing karena adanya perjanjian hukum tentang pemisahan harta dan penghasilan.

-Memilih Terpisah (MT), istri tetap berstatus menikah tetapi memilih untuk mengurus dan melaporkan pajaknya sendiri tanpa perjanjian pisah harta.

Pemilihan status pajak ini berdampak langsung terhadap perhitungan pajak, besar potongan yang diperoleh, serta tata cara pengisian SPT tahunan. Namun, sayangnya masih banyak perempuan yang belum tahu akan hak mereka untuk memilih status pajak yang paling sesuai dengan kondisi keuangan keluarga.

Rendahnya pemahaman ini sering menyebabkan kesalahan dalam administrasi, seperti menggunakan NPWP yang tidak benar, melaporkan pajak secara salah, hingga munculnya tagihan pajak yang tidak sesuai. Hal ini menunjukkan bahwa memahami aturan perpajakan bukan hanya penting bagi kepala keluarga, tetapi juga bagi perempuan yang sudah menikah. Lalu, bagaimana seorang perempuan bisa mulai memahami soal pajak secara lebih mendalam?

Mengapa Perempuan Perlu Melek Pajak?

Melek pajak bukan hanya soal tarif atau cara mengisi SPT tahunan. Bagi perempuan khususnya yang sudah menikah literasi pajak adalah bentuk kendali atas hak dan kewajiban finansial dalam keluarga.

Hasil penelitian Mahasiswa/i Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal, Program Sarjana, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia,  menunjukkan bahwa banyak perempuan menikah di Indonesia sebenarnya patuh pajak, tetapi kepatuhan tersebut lebih bersifat mengikuti prosedur, bukan karena memiliki pemahaman yang menyeluruh. Sebagian responden mengaku pelaporan atau pembayaran pajaknya diurus oleh perusahaan atau suami, sehingga mereka tidak betul-betul memahami aturan atau konsekuensi jika terjadi kesalahan.

Temuan lain menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak mengetahui sanksi administrasi ketika terlambat membayar atau melaporkan pajak. Misalnya, hanya sebagian kecil responden yang mengetahui adanya denda 2% per bulan untuk keterlambatan pembayaran, atau denda pelaporan SPT yang diatur dalam UU KUP. Kondisi ini sejalan dengan pernyataan salah satu narasumber akademisi, Dr. Neni Susilawati, yang menilai bahwa literasi pajak fungsional perempuan menikah relatif terbentuk, namun pemahaman kritikal masih rendah:

“Perempuan menikah umumnya memahami prosedur dasar perpajakan. Tetapi ketika masuk aspek konsekuensi hukum, pilihan status perpajakan, atau implikasi administratif, banyak yang belum memiliki pemahaman mendalam.” (Hasil Wawancara, 24 Oktober 2025)

Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan prosedural yang merupakan salah satu elemen penting literasi pajak masih belum optimal pada kelompok wanita kawin.

Hal ini relevan dengan kerangka Bornman dan Wasserman (2018), yang menyebutkan bahwa literasi pajak terdiri dari tiga dimensi:

1.Tax Awareness, yaitu kesadaran bahwa pajak merupakan kontribusi bersama untuk pembangunan negara.

2.Contextual & Procedural Knowledge, yaitu pemahaman mengenai aturan, prosedur, tarif, serta mekanisme pelaporan pajak.

3.Meaning Making Decision, yaitu kemampuan membuat keputusan pajak yang tepat berdasarkan pemahaman yang benar.

Jika salah satu dimensi ini lemah, maka praktik perpajakan tidak berjalan optimal dan risiko kesalahan administrasi semakin besar. Dalam konteks perempuan menikah, hal ini berpotensi memperkuat ketergantungan finansial pada suami dan memperbesar kesenjangan gender fiskal bukan karena perempuan tidak mampu, tetapi karena informasi tidak sampai dan bahasa pajak masih sulit dipahami.

Oleh karena itu, meningkatkan literasi pajak bagi perempuan bukan sekadar urusan administrasi. Ini adalah bagian dari upaya membangun perempuan Indonesia yang lebih sadar akan haknya, lebih mandiri dalam mengambil keputusan finansial, dan lebih berdaya dalam menghadapi sistem perpajakan yang selama ini cenderung teknis dan kompleks.

Langkah ke Depan: Edukasi Pajak yang Lebih Inklusif

Meningkatkan literasi pajak di kalangan perempuan tidak bisa hanya bergantung pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP), tetapi dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak agar edukasi pajak dapat menjangkau lebih banyak lapisan masyarakat, terutama wanita berstatus menikah yang sering kali memiliki kewajiban pajak lebih kompleks.

Hal ini juga disampaikan oleh salah satu konsultan pajak yang menjadi narasumber dalam wawancara penelitian. Beliau menegaskan bahwa sosialisasi menjadi kunci utama peningkatan literasi pajak.

“Kalau kita mengandalkan otoritas pajak saja mungkin akan berat, karena jumlah petugas pajak dibanding wajib pajak belum sebanding. Jadi, banyak pihak yang sebenarnya bisa membantu. Misalnya, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) juga bekerja sama dengan DJP untuk melakukan sosialisasi. Akademisi pun bisa berperan lewat kegiatan CSR dan edukasi publik. Sosialisasi itu penting dan tidak bisa hanya dari satu pihak saja,” ujarnya.

Pandangan ini menunjukan bahwa edukasi perlu dilakukan secara kolaboratif dan inklusif, baik pemerintah, akademisi, lembaga profesi, media, hingga komunitas perempuan memiliki peran yang penting dalam menumbuhkan kesadaran pajak di masyarakat.

Langkah-langkah edukatif yang bisa dilakukan pun sebenarnya sederhana namun berdampak besar:

Mulai dari diri sendiri, dengan mempelajari dasar-dasar pajak melalui laman resmi seperti pajak.go.id atau platform edukasi seperti klikpajak.id.

Ikut kegiatan sosialisasi atau webinar pajak yang telah diselenggarakan oleh banyak lembaga seperti pemerintah, kampus, dan organisasi yang menyediakan pelatihan gratis terkait perpajakan.

Diskusikan dengan pasangan. Pahami bersama status perpajakan agar pengelolaan keuangan dan kewajiban perpajakan lebih efisien.

Melalui langkah-langkah sederhana dan kolaborasi lintas sektor, edukasi pajak yang inklusif dapat memperkuat kesadaran dan kemandirian perempuan dalam mengelola kewajiban perpajakannya.

Penutup

Pada akhirnya, literasi pajak bagi perempuan bukan lagi persoalan teknis administrasi, melainkan bagian dari kapasitas individu dalam memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara. Ketika perempuan memiliki pemahaman yang memadai tentang sistem perpajakan, mereka bukan hanya lebih siap menjalankan kewajiban pelaporan dan pembayaran pajak, tetapi juga lebih kuat dalam mengambil keputusan finansial yang menyangkut dirinya dan keluarganya.

Meningkatnya partisipasi perempuan dalam sektor ekonomi semestinya diikuti dengan akses informasi perpajakan yang lebih setara, jelas, dan mudah dipahami. Edukasi pajak yang inklusif menjadi kebutuhan, bukan tambahan terutama bagi perempuan berstatus menikah yang berhadapan dengan aturan perpajakan yang lebih kompleks dibanding wajib pajak pada umumnya.

Jika upaya peningkatan literasi perpajakan berhasil dilakukan secara konsisten, perempuan tidak hanya terlindungi dari kesalahan administrasi atau potensi sanksi, tetapi juga dapat berperan sebagai bagian dari masyarakat yang sadar pajak secara utuh. Dengan demikian, perempuan bukan sekadar objek kebijakan fiskal, melainkan aktor yang mampu berkontribusi dalam menciptakan tata kelola perpajakan yang lebih adil, partisipatif, dan berperspektif kesetaraan.(**)

Oleh: Wanda Agustiani & Prames Nira Jati

Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.




  • Pajak dan Wanita: Mengapa Literasi Pajak Itu Penting Bagi Wanita Berstatus Menikah?

    🕔12:25:01, 24 Nov 2025
  • Siswa Merokok di Sekolah, Siapa Yang Berani Larang?

    🕔15:18:17, 18 Okt 2025
  • Joget Membawa Petaka

    🕔18:14:33, 30 Agu 2025
  • Izin PT GAG Harus Dicabut Demi Keadilan Ekologis

    🕔14:30:41, 25 Jun 2025
  • Amanat Reformasi Jangan Dikhianati Karena Kepentingan Oligarki

    🕔20:01:22, 22 Feb 2025